Kita sepakat kalau sikap dan cara berpikir positif adalah resep penting untuk kesehatan secara keseluruhan. Tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa memiliki pandangan positif ke masa depan dapat memainkan peran utama dalam bagaimana cara seseorang menerima pengobatan kanker.
Para peneliti dari The Ohio State University Comprehensive Cancer Center menyatakan bahwa para pasien yang memiliki masalah psikososial seperti kecemasan, depresi, kurang optimis, atau kurang dukungan sosial sebelum menjalani prosedur transplantasi sel induk hematopoietik (HSCT) punya risiko tinggi untuk dirawat kembali di rumah sakit dalam waktu lebih lama dibandingkan dengan pasien yang kesehatan mentalnya baik.
Prosedur transplantasi paling sering digunakan pada pasien kanker darah. Jika pasien kembali dirawat di rumah sakit setelah menjalani prosedur, itu kemungkinan besar karena rendahnya kualitas hidup dan harapan hidup dari pasien tersebut.
Para peneliti mengatakan bahwa pemeriksaan kesehatan mental harus dilakukan sebelum dilakukannya prosedur ini. Dengan demikian pasien yang sulit disembuhkan diberikan dukungan sebelum maupun setelah prosedur agar mencegahnya untuk kembali dirawat.
Beban Stres Sangat Berpengaruh
Dr. Daniel Richardson, penulis pertama dari laporan penelitian di atas, menunjukkan bahwa penelitian menyelidiki dampak dari beban atau tekanan stres terhadap pasien yang riskan untuk menjalani transplantasi. Namun tidak diteliti apakah sikap positif sanggup memperbaiki hasil transplantasi.
“Dalam penelitian ini, kami melihat pasien-pasien yang mengidap depresi, bipolar, atau sering merasa cemas lebih besar kemungkinannya, hingga 1.7 kali, untuk kembali dirawat di rumah sakit setelah prosedur HSCT daripada mereka yang tidak mengidap gangguan mental seperti itu,” ungkap Richardson.
HSCT adalah prosedur yang sungguh-sungguh memengaruhi kesehatan, khususnya bagi pasien yang mengalami masalah psikososialnya. Richardson menambahkan bahwa sekitar 35 sampai 40 persen pasien HSCT memiliki risiko tinggi untuk mengidap gangguan depresi atau kecemasan setelah menjalaninya.
Beberapa kajian ilmiah telah membuktikan bahwa pasien HSCT yang tidak memiliki sikap maupun cara berpikir positif atau yang kondisi psikiatrik dan psikososialnya bermasalah sangat riskan untuk menghadapi kompliakasi psikologis—depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Akan tetapi berbagai penelitian tidak memperlihatkan dengan jelas bagaimana cara berpikir positif memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hasilnya lebih bagus, sedangkan beberapa yang lain melaporkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan.
Menyelidiki Kesehatan Emosional
Penelitian yang disebutkan di atas berfokus pada pasien-pasien HSCT, lalu apakah kesehatan mental juga berpengaruh pada jenis-jenis kanker lainnya?
“Ada sejumlah kajian ilmiah yang memperlihatkan bahwa pasien yang memiliki depresi dan kecemasan merasakan hasil akhir yang lebih buruk pada semua jenis kanker secara umum. Mereka juga sangat riskan mengalami infeksi,” ujar Richardson. “Hal ini diduga ada hubungannya dengan hormon kortisol serta dampak kecemasan dan depresi yang meningkatkan kadar kortisol sehingga membuat sistem kekebalan tubuh tertekan.”
Richardson menyimpulkan bahwa hubungan antara maslaah psikososial dan hasil akhir pengobatan kanker sudah semakin jelas, namun bagaimana keduanya saling berhubungan masih belum jelas.
Masih belum diketahui seberapa besar dampak kesehatan emosional terhadap keberhasilan pengobatan, jenis pengobatan mana yang terpengaruh, atau jenis penyakit mana yang lebih terkena dampaknya.
The American Cancer Society melaporkan bahwa karakteristik kepribadian belum terbukti dapat memicu perkembangan kanker. Tidak ada alasan bagi kita untuk menyimpulkan bahwa emosi-emosi tertentu sanggup menyebabkan atau memperparah kanker. Namun organisasi ini mendukung terapi untuk membantu para pasien dan mereka yang telah sembuh menghadapi realitas kehidupan yang rumit.
Mengusulkan Solusi yang Bermanfaat
Dr. Charles L. Shapiro, wakil direktur Dublin Breast Center di Rumah Sakit Mount Sinai mengatakan bahwa berbagai penelitian telah memperlihatkan sejumlah hasil buruk yang dialami pasien-pasien kanker yang depresi.
Cari produk herbal untuk penyakit Anda? Ayo konsultasi gratis dengan ahli herbal DEHERBA.COM!
WHATSAPP SEKARANGItulah alasannya lembaga yang dikelolanya memeriksa kondisi mental pasien untuk mencari tahu apakah mereka menderita depresi atau kecemasan di awal pengobatan kanker. Dengan demikian, mereka bisa membantu para pasien untuk mengatasi depresi sehingga meningkatkan hasil pengobatan. Aktivitas fisik bagi pasien kanker juga membantu mengurangi risiko depresi.
“Saya percaya adanya banyak bukti yang menunjukkan bahwa karakteristik kepribadian di masa pra-kanker, kesanggupan untuk menghadapi kanker, dan ketahanan seseorang memengaruhi persepsinya terhadap efek samping, kualitas hidup, dan bahkan hasil klinis pengobatan,” kata Shapiro. Bukti yang disinggung olehnya biasanya didasarkan atas data hanya pada satu jangka waktu.
Tahun lalu, sebuah kajian ilmiah mengikutsertakan 12700 warga Selandia Baru yang menderita kanker payudara dan kanker usus. Dari semuanya, sekitar 650 orang telah menerima terapi psikiatrik (kejiwaan). Para peneliti mengatakan bahwa harapan hidup mereka yang dirawat karena masalah kesehatan mental, terutama skizofrenia dan gangguan bipolar, lebih buruk daripada yang tidak memiliki masalah kejiwaan.
Hasil kajian ini bukan dimaksudkan untuk menyimpulkan bahwa masalah mental adalah satu-satunya penyebab hasil buruk pengobatan kanker. Faktor-faktor lain yang terlibat termasuk keterlambatan diagnosis, kurang komunikasi dengan dokter yang menangani, serta penyakit-penyakit selain kanker yang menyertai.
Harapan Bagi Pasien Kanker Penderita Gangguan Mental
Bahkan sekalipun seorang pasien kanker menderita gangguan mental, studi-studi ilmiah masih belum memastikan bahwa mereka akan mendapatkan hasil buruk pengobatan kanker. Bagi siapapun yang hendak menjalani pengobatan kanker, yang paling berpengaruh adalah seberapa baik mereka merawat dirinya sendiri.
Richardson mengatakan bahwa pasien-pasien seringkali mendapat manfaat dari interaksi sosial dengan orang-orang serta konseling, dan mereka juga harus bertindak untuk mempertahankan juga meningkatkan kesehatan emosionalnya, termasuk mengupayakan cara berpikir positif.
“Dari apa yang sudah saya amati selama lebih dari tiga dekade, masalah kesehatan mental tidak serta-merta mengakibatkan hasil akhir pengobatan yang lebih buruk,” ungkap Katherine Puckett, PhD, dari Cancer Treatment Centers of America.
Orang-orang yang pernah mengalami gangguan kesehatan mental mungkin sudah menghadapi beragam tantangan dalam hidupnya—misalnya kurangnya dukungan sosial dan kebiasaan yang tidak sehat—sehingga membuat mereka lebih sulit untuk menjalani pengobatan kanker secara optimal.
“Hasil pengobatan dari orang-orang yang punya masalah mental, namun menerima bantuan secara emosi/psikologis, dapat memperoleh hasil positif seperti orang lain yang tidak punya masalah mental,” ujar Puckett.
Cara Berpikir Positif Untuk Pemulihan Kanker
Tidak ada bukti yang jelas mengenai keampuhan cara berpikir positif untuk mengubah proses pemulihan kanker, meskipun beberapa studi menyebutkan adanya pengaruh sikap optimis terhadap kesehatan secara keseluruhan.
Puckett menjelaskan, “orang-orang seringkali diberitahu bahwa mereka harus bersikap dan berpikir positif agar berhasil dalam pengobatan kanker.” Ia kemudian mengingatkan, “walaupun memang bersikap positif itu bermanfaat bagi kesehatan, saya juga mendapati . . . bahwa yang paling baik adalah membiarkan seorang pasien untuk mengungkapkan semua perasaannya.”
“Sering saya dengar ada keluarga mengatakan kepada pasien kanker yang sedang menangis, ‘Jangan menangis. Kamu harus bisa berpikir positif.’” Puckett menambahkan, “sebenarnya, setelah kita membiarkan mereka mengungkapkan semua perasaannya, sebaliknya dari memendamnya, akan lebih mudah bagi mereka untuk berupaya berpikir positif. Jadi tidak apa-apa untuk menangis sepuasnya—ini mungkin luapan perasaannya.”
Berdasarkan pendapat-pendapat yang diungkapkan oleh para ahli dalam artikel ini, dapat disimpulkan bahwa cara berpikir positif yang memperbaiki kesehatan mental memang dapat membantu seorang pasien dalam pengobatan kankernya. Namun bukan berarti dia tidak boleh bersedih. Justru dengan meluapkan perasaan negatifnya, ia mungkin akan lebih mudah untuk berupaya lebih bersikap positif dalam menghadapi penyakitnya.